BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Dalam pergaulan sehari-hari antara sesama manusia, agar hubungan ini terjalin dengan baik, haruslah ada pedoman dalam hidup ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan lengkap dengan diberi akal dan pikiran tentulah juga diwajibkan untuk memiliki akhlak yang baik agar terciptanya hubungan yang baik antar sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Manusia yang memiliki akhlak yang baik tentunya akan bersifat dan bertindak yang baik atau terpuji.
Dalam pembahasan yang akan kami terangkan pada makalah ini, bahwa kami akan mengemukakan diantara bentuk-bentuk dari akhlak dan sifat-sifat terpuji dari para sufi seperti Syukur, Qona’ah, Tawakal, dan Ridha. Makalah ini juga akan menerangkan pengertian dan definisi-definisi tentang sifat terpiji berdasarkan para tokoh-tokoh sufi.
B.                 Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Syukur?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Qona’ah?
3.      Apakah yang dimaksud dengan Tawakal?
4.      Apakah yang dimaksud dengan Ridha?
C.            Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan Syukur.
2.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan Qona’ah.
3.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan Tawakal.
4.      Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan Ridha.



BAB II
PEMBAHASAN
A.                 Syukur
1.         Makna Syukur
Menurut Ibnu ‘Ajibah syukur adalah senangnya hati seseorang atas kenikmatan yang ia peroleh, lantas anggota tubuhnya bergerak untuk taat kepada yang memberi nikmat, disertai sikap pengakuan kepada Dzat yang memberi nikmat dengan tunduk kepada-Nya.[1]
Seseorang yang pandai bersyukur akan menggunakan seluruh anugerah Tuhan untuk hal-hal yang mendatangkan ridha-Nya. Manfaat bersyukur sesungguhnya akan kembali kepada diri orang itu sendiri. Allah SWT berfirman: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu [2]berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk karunia dari Tuhanku untuk mencoba aku apakah akubersyukur atau mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS al- Naml: 40)
2.         Macam-macam Syukur
Syuukur berdasarkan caranya, menurut Abdul Qadir Isa, dapat dibagi menjadi tiga macam:
a)      Al-Syukru bi lisan, bersyukur dengan ucapan, misalnya dengan mengucapkan alhamdulillah, atau al-tahadduts bin ni’mah (menceritakan nikmat-nikmat Allah yang selama ini diberikan kepada kita semua). Allah SWT berfirman: “Dan apapun nikmat Tuhanmu maka ceritakanlah”. (QS [3]al-Dhuha: 11) Dalam dadis yang shahih dari Nu’man bin Basyrir, Nabi SAW bersabda : “Menceritakan nikmat Allah adalah syukur”. (HR Imam Ahmad)
b)      Al-Syukr bil arkan, bersyukur dengan melakukan amal shalih dan berbagai macam perbuatan terpuji. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dimana beliau setiap malam melakukan sholat Tahajud, sampai kedua telapak kakinya bengkak. Ketika hal itu ditanyakan oleh Aisyah: “Mengapa engkau lakukan semua itu, padahal dosa-dosamu telah diampuni ya Rasul?”. Be,iau menjawab: “Afala akuna ‘abdan syakuran?” tidakkah aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur?”. (HR al-Bukhari)
c)      Al-Syukr bil janan, bersyukur dengan hati, yakni bersaksi bahwa setiap nikmat yang ada pada diri seseorang adalah anugerah dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: “Dan apapun nikmat yang ada pada kalian, maka itu dari Allah”. (QS al-Nahl: 53)

3.         Tingkatan Orang Bersyukur
Orang-orang bersyukur memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a)      Tingkatan orang umum (‘awamm). Ia bersyukur ketika mendapat nikmat saja. Tingkatan ini diibaratkan seperti anak kecil yang mau berterima kasih ketika diberi sesuatu yang menyenangkan.
b)      Tingkatab orang khusus (khash). Ia bersyukur tidak hanya ketika diberi nikmat, tetapi juga ketika diberi cobaan bencana atau musubah. Baginya musibah atau bencana dan nikmat itu sama-sama ujian dari Allah SWT. Cobaan dari Allah dianggap sebagai bentuk kasih sayang dari-Nya. Nabi SAW bersabda: “Apapabila Allah mencintai hamba-Nya, maka dia akan mengujinya, karena ingin mendengar rintihannya”. (HR al-Baihaqi dan al-Dailami)
c)      Tingkatan orang khawashul khawash. Dia bersyukur bukan karena mendapatkan nikmat, melainkan karena melihat al-Mun’im (Dzat yang memberi nikmat). Dalam kitab Risalah al-Qusyairiyyah (hlm. 81) Syeikh Syibli seorang sufi besar (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata: “al-syukru ri’yatul mun’im la ru’yatul ni’mah”. Artinya: bersyukur itu  karena melihat Dzat yang memberi nikmat, bukan karena nikmat itu sendiri.

B.                 Qona’ah
Qona’ah ialah menerima cukup. Qona’ah adalah sikap merasa cukup dengan apa yang ada, dan mau menerima kenyataan dengan Ridha. Qona’ah mengandung lima perkara yaitu:
1.      Menerima dengan rela akan apa yang ada.
2.      Memohonkan kepada tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
3.      Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah.
4.      Bertawakal kepada Tuhan.
5.      Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Rosulullah SAW juga bersabda yang artinya:” Qona’ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap”. (HR. Thabrani). Jadi, orang yang mempunyai sifat Qona’ah telah memagar hartanya sekedar apa yang ada dalam tangannya dan tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.[4]
            Maksud Qona’ah itu amatlah luas. Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan kita, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat. Sebab, entah hilang pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, berusaha, bergiat sehabis tenaga, sebab semasa nyawa dikandung badan kewajiban belum berakhir. Kita bekerja bukan karena meminta tambahan yang telah ada dan tak merasa cukup pada apa yang ada didalam tangan. Tetapi, kita bekerja sebab orang hidup mesti harus bekerja.
 Itulah maksud Qona’ah, nyatalah salah persangkaan orang yang mengatakan bahwa Qona’ah itu melemahkan hati, memalaskan fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi, Qona’ah adalah modal yang paling teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang betul-betul mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak, tetap fikiran, tegap kalbu, bertawakal kepada Allah SWT, mengharapkan pertolonganNya, serta tidak merasa jengkel jika ada maksud yang tidak berhasil atau yang dicari tidak di dapat.
Bahagia, yang dalam bahasa Arabnya disebut Sa’adah tidaklah akan didapat kalau tidak ada perasaan Qona’ah. Tidaklah terlalu berlebih-lebihan jika dikatakan bahwa bahagia ialah Qona’ah dan Qona’ah ialah bahagia. Sebab tujuan Qona’ah ialah menanamkam dalam hati sendiri perasaan Thuma’ninah, perasaan tentram dan damai baik diwaktu suka maupun duka, baik diwaktu susah atau diwaktu senang baik diwaktu kaya maupun diwaktu miskin. Lantaran yang dituntut oleh Qona’ah ketenteraman itu, ketenteraman itu pula yang menciptakan bahagia, dan tidak ada bahagia kalau tidak ada Qona’ah. Beberapa fikiran dari ahli-ahli hikmah ada yang berpendapat “buah Qona’ah adalah ketenteraman,” ujar Ja’far bin Muhammad.
C.                 Tawakal
. Tawakal atau tawakul (bahasa Arab) berasal dari kata kerja fi’il wakala yang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Imam al-Gozali merumuskan devinisi tawakal sebagai berikut: tawakal ialah menyandarkan kepada Allah SWT tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.[5]
Al-Gazali menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan orang yang bertawakal ada tiga bentuk yaitu:
a.       Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberi manfaat kepadanya.
b.      Berusaha menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang menimbulkan kerugian.
c.       Berusaha menghilangkan bentuk-bentuk kerugian yang menimpanya.

 Tawakal adalah suatu sikap mental seorang Sufi yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah. Karena, di dalam tauhid ia di ajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan segala-galanya, pengetahuanNya maha luas, Dia yang mengatur alam semesta ini. Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk untuk menyerahkan segala persoalannya kepada Allah. Hatinya tenteram dan tenang serta tiada rasa curiga, karena Allah Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Menurut ajaran islam, tawakal itu adalah tumpuan terakhir dalam suatu usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakal yang sebenarnya menurut ajaran islam adalah menyerahkan diri kepada Allah SWT setelah berusaha keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti sunah Allah yang dia tetapkan.
Sifat tawakal memang timbulnya tidak dengan sekaligus. Tetapi secara bertahap dan berangsur-angsur, sesuai dengan perkembangan ilmu dan iman seseorang. Mungkin karena itulah Abu Ali Daqaq mengatakan bahwa tawakal itu terdiri dari tiga tingkatan: Pertama, tawakal, yaitu hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan Allah. Tawakal seperti ini merupakan maqam bidayah. Yakni, sifat bagi orang mukmin yang awam. Kedua, taslim,merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah mengetahui tentang keadaan dirinya. Maqam seperti ini merupakan maqam mutawasit, yang menjadi sifat orang khawas. Ketiga, tafwit, yaitu orang yang telah ridho menerima ketentuan/ takdir Allah. Sikap yang seperti ini adalah sikap orang yang sudah sampai kepada maqam Nihayatun
Tawakal ialah menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada tuhan semesta alam. Dia yang kuat dan kuasa, kita lemah dan tak berdaya. Tawakal dapat dikatakan sebagai hasil dari sifat sabar. Sehingga bila sabar sudah mampu ditegakan, otomatis dia juga seseorang yang tawakal. Ada macam-macam definisi dari para ahli tentang tawakal ini. Ada yang mengartikan tawakal buakan pada kedalamannya, namun pada kulit luarnya. Karena, pembicaraan tentang kedalaman makna tawakal, ada pada pengalaman pribadi masing-masing Sufi.
Pendapat tersebut mendefinisikan tawakal dari makna dasarnya yakni menyerahkan sepenuhnya. Orang yang telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, tidak akan ada keraguan tentang apapun yang menjadi keputusan Allah. Menurut Ibnul Qoyyim, ada kesalahan presepsi tentang tawakal, dimana dia tidak berbuat sesuatu atau kurang tekun dalam berjuang untuk sesuatu kemudian menyerahkan kepada Allah. Ini bukan tawakal tetapi menelantarkan karunia Allah SWT. Orang yang tawakal dapat di tandai dengan selalu menyatunya perasaan tenang dan tentram serta penuh kerelaan atas segala yang di terimanya. Dia juga selalu merasa optimis dalam bertindak dan senantiasa memiliki harapan atas segala yang dicita-citakan.
Tawakal sebagai suatu sikap penyerahan segala bentuk upaya yang telah dilakukan oleh manusia kepada Allah. Sikap tersebut di dasari oleh hati yang selalu mendorong manusia bercita-cita untuk memperoleh apa yang telah diusahakannya. Jadi, sebenarnya tawakal itu bukan hasil kerja yang pasif tetapi hasil kerja yang aktif. Seorang peserta Tasawuf berusaha dengan maksimal untuk memperolehnya dengan cara memperolehnya dengan cara melakukan dzikir sebanyak-banyaknya untuk mendapatka maqam tawakal. Tawakal yang dijadikan maqam tertinggi oleh Al-sarraj al-Tusi, didasarkan oler keterangan Al Qur’an surah Al Ma’idah  ayat 23 yang berbunyi:
            tA$s% ÈbŸxã_u z`ÏB tûïÏ%©!$# šcqèù$sƒs zNyè÷Rr& ª!$# $yJÍköŽn=tã (#qè=äz÷Š$# ãNÍköŽn=tã šU$t6ø9$# #sŒÎ*sù çnqßJçGù=yzyŠ öNä3¯RÎ*sù tbqç7Î=»xî 4 n?tãur «!$# (#þqè=©.uqtGsù bÎ) OçGYä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÌÈ

Artinya: “ Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".(QS : Al-ma’idah: 23).
Fungsi tawakal adalah sebagai berikut:
1.      Membuat manusia penuh percaya diri.
2.      Membuat manusia penuh keberanian.
3.      Membuat manusia memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa.
4.      Membuat manusia dekat dengan Allah dan menjadi KekasihNya.
5.      Membuat manusia dipelihara, ditolong da dilindungi Allah.
6.      Membuat manusia diberi rezeki yang cukup, selalu taat dan berbakti kepada Allah.

D.                 Ridha
Al-junaid mengartikan Ridha itu adalah meninggalkan usaaha. Sedangkan Dzu an-Nun al-Mishri mengatakan Ridha itu ialah menerima qada dan qadar dalam kerelaan hati. Menurut Dzu an-Nun, tanda-tanda orang sudah ridha itu ada tiga yaitu meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya rasa gelisah sesudah terjaadi ketentuandan yang terakhir adalah cinta yang bergelora dikala turunnya malapetaka. Kiranya pengertian Ridha ini merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan mental yang merasa tenangdan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut dengan hati yang terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau yang datang itu berupa bencana.
Oleh karena sikap mental Ridha ini sudah mendekati sifat kesempurnaan maka dikalangan sufi berbeda pendapat, apakah tergolong maqamat atau al-ahwal. Menurut Qomar Kaillani dalam fi al- Tasawuf al-Islami, sebagian sufi berpendapat, bahwa Ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan salik. Sebab datangnya sikap mental dari Ridha itu adalah berkat perjuangan yang dilakukan secara berantai. Akan tetapi bagi sufi yang mengakui adanya ittihad maqam itu termasuk mahabbah, ma’rifah dan kemudian al-fana dan berlanjut dengan ittihad.
Hakikat ridha adalah menerima segala yang terjadi dengan senang hati karena hal itu merupakan kehendak Allah SWT.[6] Orang yang telah mencapai maqam ridha, tidak akan menentang keputusan (qadha) Allah SWT. Maka hati orang yang ridha akan tetap tenang, meskipun sedang tertimpa musibah. Sikap ridha merupakan buah dari ma’rifatullah dan bukti bahwa seseorang benar-benar mencintai Allah SWT. Demikian penegasan Abdul Qadir Isa dalam kitab Haqa ‘iq an al-Tashawwuf (hlm. 239).
Keutamaan Ridha
Ridha merupakan sifat yang amat mulia. Kedudukannya lebih tinggi dari pada sifat sabar. Sebab dalam kesabaran, boleh jadi, seseorang masih merasa sedih atas musibah yang diterimanya, meskipun ia tabah. Sedangkan dalam ridha, seseorang tidak lagi merasa sedih atas musibah yang menimpanya. Yang ada adalah rasa rela dan senang hati atas musibah yang menimpanya.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa sifat ridha menjadi sebab kebahagiaan seorang mu’min didunia dan akhirat. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, beliau bersabda: “Salah satu sebab bagi kebahagiaan (sa ‘adah) seseorang (ibn adam) adalah ridha terhadap apayang diputuskan Allah kepadanya. Dan salah satu penyebab kecelakaan (syaqawah) bagi seseorang adalah dia meninggalkan pilihan Allah serta membenci apa yang diputuskan Allah kepadanya”. (HR al-Tirmidzi)
Itulah sebabnya Nabi juga mengajarkan doa kepada para sahabat agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang memiliki sifat ridha. Beliau besabda: “Barang siapa yang disetiap pagi dan sore dengan membaca doa radhitu billahi rabba wa bil islami dina wa bi muhammad rasula “aku ridha Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agamaku dan Muhammadsebagai rasul”, maka Allah akan meridhainya”. (HR Abu Dawud)
Kiat-Kiat Bersikap Ridha
Agar seseorang dapat mencapai maqam ridha, maka diperlukan ilmu dan kesadaran tinggi tentang hakikat hidup di dunia ini, antara lain:
1.         Seseorang harus meyakini dan menyadari bahwa musibah yang menimpa dirinya merupakan pemberian Allah untuk menguji atau bahkan sebagai bentuk kasih sayang Allah kepadanya. Allah SWT berfirman: “Dialah Dzat yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS al-Mulk: 2)
2.         Seseorang harus yakin bahwa dibalik musibah yangmenimpa dirinya pasti ada hikmahnya. Allah SWT berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS al-Baqarah: 216)
3.         Hidup didunia ini pada hakikatnya adalah ujian dan ujian itu biasanya tidak menyenangkan.namun jika seseorang lulus dari ujian tersebut, maka ia akan naik derajatnya dihadapan Allah. Orang yang ridha terhadap qadha Allah niscaya memiliki jiwa yang tenang dan ia pun akan diridhai Allah SWT.
$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ß§øÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ
ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ
Í?ä{÷Š$$sù Îû Ï»t6Ïã ÇËÒÈ
Í?ä{÷Š$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ


 “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS al-Fajr: 27-30)


Keluh Kesah Dapat Merusak Sikap Ridha
Keluh kesah yang keluar dari mulut seseorang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Kata-kata yang terlontar justru menunjukkan ketidaksabaran dan itu bisa merusak sikap ridha.
Keluh kesah termasuk penyakit hati. Ia berbentuk ketidaksabaran yang menyelip dalam  jiwa kita tatkala menerima ketentuan dari Allah. Ada hadis qudsi yang menyatakan bahwa: “Barang siapa yang tidak ridhe terhadap ketentuan-Ku, dan tidak sabar terhadap musibah dari-Ku, maka carilah Tuhan selain Aku”. (HR Bukhari dan Muslim). Dari hadis qudsi ini tampaklah bahwa segala apapun yang Allah berikan kepada kita, maka kita harus menerimanya dengan ridha. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak mengaduh atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi aduh-mengaduh ini. Jauh lebh produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah kualitas keilmuan diri serta menyempurnakan ikhtiar dijalan Allah. Demikianlah perkataan Aa’ Gym dalam salah satu ceramahnya.






BAB III

A.                Kesimpulan
Sifat terpuji yaitu sifat yang wajib dimiliki oleh setiap umat muslim dimanapun dia berada. Adanya sifat-syfat yang terpuji akan menjadikan setiap  manusia menjadi lebih tinggi derajadnya di hadapan Allah SWT. Adapun beberapa sifat terpuji yang seharusnya dimiliki itu adalah syukur.  Syukur yaitu senangnya hati seseorang atas kenikmatan yang ia peroleh, lantas anggota tubuhnya bergerak untuk taat kepada yang memberi nikmat, disertai sikap pengakuan kepada Dzat yang memberi nikmat dengan tunduk kepada-Nya. Qana’ah yaitu sikap merasa cukup dengan apa yang ada, dan mau menerima kenyataan dengan Ridha. Tawakal yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan, dan Ridha yaitu menerima qada dan qadar dalam kerelaan hati. Ridha ini merupakan perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan mental yang merasa tenangdan senang menerima segala situasi dan kondisi

B.                 Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap agar setiap orang yang membaca makalah ini dapat memahami isi dari pembahasan makalah ini dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan tercipta hubungan yang baik antar sesama manusia ciptaan Allah SWT.






DAFTAR PUSTAKA

As, Asmaran. 1994. Pengantar Study Tasawuf. Jakarta Utara:PT.RajaGrafindo       Persada

Hamka. 2007. Tasawuf Modern. Jakarta:PT.Pustaka Panjimas

Mahjuddin. 2011. Akhlak tasawuf I. Jakarta:Kalam Mulia

Mahjuddin. 2012. Akhlak Tasawuf I1. Jakarta:Kalam Mulia

Mustaqim, Abdul. 2013. Akhlak Tasawuf:Lelaku Suci Menuju Refolusi Hati.           Yogyakarta:Kaukaba Dipantara

Proyek Pembinaan PTAIN Sumatra Utara. 1983. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan:IAIN Sumatra Utara.

Tohir, Nahrowi Moenir. 2012. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf. Jakarta Selatan:      PT. As-salam Sejahtera



[1] Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Kaukaba, 2013), hlm. 69
                               
[3]
[4] Hamka, Tasawuf Modern (Jakarta, Pustaka Panjimas, 2007), 219.
[5][5] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, ( Jakarta Utara, PT Raja Grafindo Persada, 1994), 120.
[6][6][6] Abdul Mustaqim, Akhlak Tasawuf : Lelaku Suci Menuju Refolusi Hati, ( Yogyakarta, Kaukaba Dipantara, 2013), 92.

0 komentar:

Posting Komentar