BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam
pergaulan sehari-hari antara sesama manusia, agar hubungan ini terjalin dengan
baik, haruslah ada pedoman dalam hidup ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang
diciptakan lengkap dengan diberi akal dan pikiran tentulah juga diwajibkan
untuk memiliki akhlak yang baik agar terciptanya hubungan yang baik antar sesama
makhluk ciptaan Allah SWT. Manusia yang memiliki akhlak yang baik tentunya akan
bersifat dan bertindak yang baik atau terpuji.
Dalam
pembahasan yang akan kami terangkan pada makalah ini, bahwa kami akan
mengemukakan diantara bentuk-bentuk dari akhlak dan sifat-sifat terpuji dari para
sufi seperti Syukur, Qona’ah, Tawakal, dan Ridha. Makalah ini juga akan
menerangkan pengertian dan definisi-definisi tentang sifat terpiji berdasarkan
para tokoh-tokoh sufi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan Syukur?
2. Apakah
yang dimaksud dengan Qona’ah?
3. Apakah
yang dimaksud dengan Tawakal?
4. Apakah
yang dimaksud dengan Ridha?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan Syukur.
2. Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan Qona’ah.
3. Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan Tawakal.
4. Untuk
mengetahui apakah yang dimaksud dengan Ridha.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Syukur
1.
Makna Syukur
Menurut Ibnu
‘Ajibah syukur adalah senangnya hati seseorang atas kenikmatan yang ia peroleh,
lantas anggota tubuhnya bergerak untuk taat kepada yang memberi nikmat,
disertai sikap pengakuan kepada Dzat yang memberi nikmat dengan tunduk
kepada-Nya.[1]
Seseorang yang
pandai bersyukur akan menggunakan seluruh anugerah Tuhan untuk hal-hal yang
mendatangkan ridha-Nya. Manfaat bersyukur sesungguhnya akan kembali kepada diri
orang itu sendiri. Allah SWT berfirman: “Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu [2]berkedip”. Maka tatkala
Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata: “Ini
termasuk karunia dari Tuhanku untuk mencoba aku apakah akubersyukur atau
mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya
dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar,
maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. (QS al- Naml: 40)
2.
Macam-macam Syukur
Syuukur
berdasarkan caranya, menurut Abdul Qadir Isa, dapat dibagi menjadi tiga macam:
a)
Al-Syukru bi
lisan, bersyukur dengan ucapan, misalnya dengan mengucapkan alhamdulillah, atau
al-tahadduts bin ni’mah (menceritakan nikmat-nikmat Allah yang selama ini
diberikan kepada kita semua). Allah SWT berfirman: “Dan apapun nikmat Tuhanmu maka ceritakanlah”. (QS [3]al-Dhuha:
11) Dalam dadis yang shahih dari Nu’man bin Basyrir, Nabi SAW bersabda : “Menceritakan nikmat Allah adalah syukur”.
(HR Imam Ahmad)
b)
Al-Syukr bil
arkan, bersyukur dengan melakukan amal shalih dan berbagai macam perbuatan
terpuji. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dimana beliau setiap
malam melakukan sholat Tahajud, sampai kedua telapak kakinya bengkak. Ketika
hal itu ditanyakan oleh Aisyah: “Mengapa
engkau lakukan semua itu, padahal dosa-dosamu telah diampuni ya Rasul?”. Be,iau
menjawab: “Afala akuna ‘abdan syakuran?” tidakkah aku ingin menjadi hamba yang
banyak bersyukur?”. (HR al-Bukhari)
c)
Al-Syukr bil
janan, bersyukur dengan hati, yakni bersaksi bahwa setiap nikmat yang ada pada
diri seseorang adalah anugerah dari Allah SWT. Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam al-Qur’an: “Dan apapun nikmat yang
ada pada kalian, maka itu dari Allah”. (QS al-Nahl: 53)
3.
Tingkatan Orang Bersyukur
Orang-orang bersyukur memiliki
tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a)
Tingkatan orang
umum (‘awamm). Ia bersyukur ketika mendapat nikmat saja. Tingkatan ini
diibaratkan seperti anak kecil yang mau berterima kasih ketika diberi sesuatu
yang menyenangkan.
b)
Tingkatab orang
khusus (khash). Ia bersyukur tidak hanya ketika diberi nikmat, tetapi juga
ketika diberi cobaan bencana atau musubah. Baginya musibah atau bencana dan
nikmat itu sama-sama ujian dari Allah SWT. Cobaan dari Allah dianggap sebagai
bentuk kasih sayang dari-Nya. Nabi SAW bersabda: “Apapabila Allah mencintai hamba-Nya, maka dia akan mengujinya, karena
ingin mendengar rintihannya”. (HR al-Baihaqi dan al-Dailami)
c)
Tingkatan orang
khawashul khawash. Dia bersyukur bukan karena mendapatkan nikmat, melainkan
karena melihat al-Mun’im (Dzat yang memberi nikmat). Dalam kitab Risalah
al-Qusyairiyyah (hlm. 81) Syeikh Syibli seorang sufi besar (semoga Allah
merahmatinya) pernah berkata: “al-syukru
ri’yatul mun’im la ru’yatul ni’mah”. Artinya: bersyukur itu karena melihat Dzat yang memberi nikmat, bukan
karena nikmat itu sendiri.
B.
Qona’ah
Qona’ah ialah menerima cukup. Qona’ah
adalah sikap merasa cukup dengan apa yang ada, dan mau menerima kenyataan
dengan Ridha. Qona’ah mengandung lima perkara yaitu:
1. Menerima
dengan rela akan apa yang ada.
2. Memohonkan
kepada tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
3. Menerima
dengan sabar akan ketentuan Allah.
4. Bertawakal
kepada Tuhan.
5. Tidak
tertarik oleh tipu daya dunia.
Rosulullah
SAW juga bersabda yang artinya:” Qona’ah
itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan
lenyap”. (HR. Thabrani). Jadi, orang yang mempunyai sifat Qona’ah telah
memagar hartanya sekedar apa yang ada dalam tangannya dan tidak menjalar
fikirannya kepada yang lain.[4]
Maksud Qona’ah itu amatlah luas.
Menyuruh percaya yang betul-betul akan adanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan
kita, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi jika ketentuan itu tidak
menyenangkan diri, dan bersyukur jika dipinjamiNya nikmat. Sebab, entah hilang
pula nikmat itu kelak. Dalam hal yang demikian disuruh bekerja, berusaha,
bergiat sehabis tenaga, sebab semasa nyawa dikandung badan kewajiban belum
berakhir. Kita bekerja bukan karena meminta tambahan yang telah ada dan tak
merasa cukup pada apa yang ada didalam tangan. Tetapi, kita bekerja sebab orang
hidup mesti harus bekerja.
Itulah maksud Qona’ah, nyatalah salah
persangkaan orang yang mengatakan bahwa Qona’ah itu melemahkan hati, memalaskan
fikiran, mengajak berpangku tangan. Tetapi, Qona’ah adalah modal yang paling
teguh untuk menghadapi penghidupan, menimbulkan kesungguhan hidup yang
betul-betul mencari rezeki. Jangan takut dan gentar, jangan ragu-ragu dan syak,
tetap fikiran, tegap kalbu, bertawakal kepada Allah SWT, mengharapkan
pertolonganNya, serta tidak merasa jengkel jika ada maksud yang tidak berhasil
atau yang dicari tidak di dapat.
Bahagia, yang dalam bahasa Arabnya
disebut Sa’adah tidaklah akan didapat kalau tidak ada perasaan Qona’ah.
Tidaklah terlalu berlebih-lebihan jika dikatakan bahwa bahagia ialah Qona’ah
dan Qona’ah ialah bahagia. Sebab tujuan Qona’ah ialah menanamkam dalam hati
sendiri perasaan Thuma’ninah, perasaan tentram dan damai baik diwaktu suka
maupun duka, baik diwaktu susah atau diwaktu senang baik diwaktu kaya maupun
diwaktu miskin. Lantaran yang dituntut oleh Qona’ah ketenteraman itu,
ketenteraman itu pula yang menciptakan bahagia, dan tidak ada bahagia kalau
tidak ada Qona’ah. Beberapa fikiran dari ahli-ahli hikmah ada yang berpendapat
“buah Qona’ah adalah ketenteraman,” ujar Ja’far bin Muhammad.
C.
Tawakal
. Tawakal atau tawakul (bahasa Arab)
berasal dari kata kerja fi’il wakala
yang berarti mewakilkan atau menyerahkan. Jika dilihat dari segi istilah,
tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau
menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan. Imam
al-Gozali merumuskan devinisi tawakal sebagai berikut: tawakal ialah
menyandarkan kepada Allah SWT tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar
kepadaNya dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai
jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.[5]
Al-Gazali menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan orang yang bertawakal ada tiga bentuk yaitu:
a. Berusaha
memperoleh sesuatu yang dapat memberi manfaat kepadanya.
b. Berusaha
menolak dan menghindarkan diri dari hal-hal yang menimbulkan kerugian.
c. Berusaha
menghilangkan bentuk-bentuk kerugian yang menimpanya.
Tawakal adalah suatu sikap mental seorang Sufi
yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah. Karena, di
dalam tauhid ia di ajari agar meyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan
segala-galanya, pengetahuanNya maha luas, Dia yang mengatur alam semesta ini.
Keyakinan inilah yang mendorongnya untuk untuk menyerahkan segala persoalannya
kepada Allah. Hatinya tenteram dan tenang serta tiada rasa curiga, karena Allah
Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Menurut ajaran islam, tawakal itu adalah tumpuan
terakhir dalam suatu usaha atau perjuangan. Jadi arti tawakal yang sebenarnya
menurut ajaran islam adalah menyerahkan diri kepada Allah SWT setelah berusaha
keras dalam berikhtiar dan bekerja sesuai dengan kemampuan dalam mengikuti
sunah Allah yang dia tetapkan.
Sifat tawakal memang timbulnya tidak
dengan sekaligus. Tetapi secara bertahap dan berangsur-angsur, sesuai dengan
perkembangan ilmu dan iman seseorang. Mungkin karena itulah Abu Ali Daqaq
mengatakan bahwa tawakal itu terdiri dari tiga tingkatan: Pertama, tawakal, yaitu hati merasa tenteram dengan apa yang telah dijanjikan
Allah. Tawakal seperti ini merupakan maqam bidayah. Yakni, sifat bagi orang
mukmin yang awam. Kedua,
taslim,merasa cukup menyerahkan urusan kepada Allah, karena Allah telah
mengetahui tentang keadaan dirinya. Maqam seperti ini merupakan maqam
mutawasit, yang menjadi sifat orang khawas. Ketiga,
tafwit, yaitu orang yang telah ridho menerima ketentuan/ takdir Allah.
Sikap yang seperti ini adalah sikap orang yang sudah sampai kepada maqam
Nihayatun
Tawakal ialah menyerahkan keputusan
segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada tuhan semesta alam. Dia yang kuat dan
kuasa, kita lemah dan tak berdaya. Tawakal dapat dikatakan sebagai hasil dari
sifat sabar. Sehingga bila sabar sudah mampu ditegakan, otomatis dia juga seseorang
yang tawakal. Ada macam-macam definisi dari para ahli tentang tawakal ini. Ada
yang mengartikan tawakal buakan pada kedalamannya, namun pada kulit luarnya.
Karena, pembicaraan tentang kedalaman makna tawakal, ada pada pengalaman
pribadi masing-masing Sufi.
Pendapat tersebut mendefinisikan tawakal
dari makna dasarnya yakni menyerahkan sepenuhnya. Orang yang telah menyerahkan
sepenuhnya kepada Allah, tidak akan ada keraguan tentang apapun yang menjadi
keputusan Allah. Menurut Ibnul Qoyyim, ada kesalahan presepsi tentang tawakal,
dimana dia tidak berbuat sesuatu atau kurang tekun dalam berjuang untuk sesuatu
kemudian menyerahkan kepada Allah. Ini bukan tawakal tetapi menelantarkan
karunia Allah SWT. Orang yang tawakal dapat di tandai dengan selalu menyatunya
perasaan tenang dan tentram serta penuh kerelaan atas segala yang di terimanya.
Dia juga selalu merasa optimis dalam bertindak dan senantiasa memiliki harapan
atas segala yang dicita-citakan.
Tawakal sebagai suatu sikap penyerahan
segala bentuk upaya yang telah dilakukan oleh manusia kepada Allah. Sikap
tersebut di dasari oleh hati yang selalu mendorong manusia bercita-cita untuk
memperoleh apa yang telah diusahakannya. Jadi, sebenarnya tawakal itu bukan
hasil kerja yang pasif tetapi hasil kerja yang aktif. Seorang peserta Tasawuf
berusaha dengan maksimal untuk memperolehnya dengan cara memperolehnya dengan
cara melakukan dzikir sebanyak-banyaknya untuk mendapatka maqam tawakal.
Tawakal yang dijadikan maqam tertinggi oleh Al-sarraj al-Tusi, didasarkan oler
keterangan Al Qur’an surah Al Ma’idah
ayat 23 yang berbunyi:
tA$s% Èbxã_u z`ÏB tûïÏ%©!$# cqèù$ss zNyè÷Rr& ª!$# $yJÍkön=tã (#qè=äz÷$# ãNÍkön=tã U$t6ø9$# #sÎ*sù çnqßJçGù=yzy öNä3¯RÎ*sù tbqç7Î=»xî 4 n?tãur «!$# (#þqè=©.uqtGsù bÎ) OçGYä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÌÈ
Artinya:
“ Berkatalah dua orang diantara
orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas
keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka
bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman".(QS
: Al-ma’idah: 23).
Fungsi
tawakal adalah sebagai berikut:
1. Membuat
manusia penuh percaya diri.
2. Membuat
manusia penuh keberanian.
3. Membuat
manusia memiliki ketenangan dan ketenteraman jiwa.
4. Membuat
manusia dekat dengan Allah dan menjadi KekasihNya.
5. Membuat
manusia dipelihara, ditolong da dilindungi Allah.
6. Membuat
manusia diberi rezeki yang cukup, selalu taat dan berbakti kepada Allah.
D.
Ridha
Al-junaid mengartikan Ridha itu adalah meninggalkan
usaaha. Sedangkan Dzu an-Nun al-Mishri mengatakan Ridha itu ialah menerima qada
dan qadar dalam kerelaan hati. Menurut Dzu an-Nun, tanda-tanda orang sudah
ridha itu ada tiga yaitu meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan, lenyapnya
rasa gelisah sesudah terjaadi ketentuandan yang terakhir adalah cinta yang
bergelora dikala turunnya malapetaka. Kiranya pengertian Ridha ini merupakan
perpaduan antara sabar dan tawakal sehingga melahirkan mental yang merasa
tenangdan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi
disambut dengan hati yang terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walau
yang datang itu berupa bencana.
Oleh karena sikap mental Ridha ini sudah mendekati
sifat kesempurnaan maka dikalangan sufi berbeda pendapat, apakah tergolong
maqamat atau al-ahwal. Menurut Qomar Kaillani dalam fi al- Tasawuf al-Islami,
sebagian sufi berpendapat, bahwa Ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan
salik. Sebab datangnya sikap mental dari Ridha itu adalah berkat perjuangan
yang dilakukan secara berantai. Akan tetapi bagi sufi yang mengakui adanya
ittihad maqam itu termasuk mahabbah, ma’rifah dan kemudian al-fana dan
berlanjut dengan ittihad.
Hakikat ridha adalah menerima segala
yang terjadi dengan senang hati karena hal itu merupakan kehendak Allah SWT.[6]
Orang yang telah mencapai maqam ridha, tidak akan menentang keputusan (qadha)
Allah SWT. Maka hati orang yang ridha akan tetap tenang, meskipun sedang
tertimpa musibah. Sikap ridha merupakan buah dari ma’rifatullah dan bukti bahwa
seseorang benar-benar mencintai Allah SWT. Demikian penegasan Abdul Qadir Isa
dalam kitab Haqa ‘iq an al-Tashawwuf (hlm. 239).
Keutamaan
Ridha
Ridha merupakan sifat yang amat mulia.
Kedudukannya lebih tinggi dari pada sifat sabar. Sebab dalam kesabaran, boleh
jadi, seseorang masih merasa sedih atas musibah yang diterimanya, meskipun ia
tabah. Sedangkan dalam ridha, seseorang tidak lagi merasa sedih atas musibah
yang menimpanya. Yang ada adalah rasa rela dan senang hati atas musibah yang
menimpanya.
Rasulullah SAW menegaskan bahwa sifat
ridha menjadi sebab kebahagiaan seorang mu’min didunia dan akhirat. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, beliau bersabda: “Salah satu sebab bagi kebahagiaan (sa
‘adah) seseorang (ibn adam) adalah ridha terhadap apayang diputuskan Allah
kepadanya. Dan salah satu penyebab kecelakaan (syaqawah) bagi seseorang adalah
dia meninggalkan pilihan Allah serta membenci apa yang diputuskan Allah
kepadanya”. (HR al-Tirmidzi)
Itulah sebabnya Nabi juga mengajarkan
doa kepada para sahabat agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang memiliki sifat
ridha. Beliau besabda: “Barang siapa yang disetiap pagi dan sore dengan membaca
doa radhitu billahi rabba wa bil islami dina wa bi muhammad rasula “aku ridha Allah sebagai tuhan, Islam
sebagai agamaku dan Muhammadsebagai rasul”, maka Allah akan meridhainya”. (HR
Abu Dawud)
Kiat-Kiat
Bersikap Ridha
Agar seseorang dapat mencapai maqam
ridha, maka diperlukan ilmu dan kesadaran tinggi tentang hakikat hidup di dunia
ini, antara lain:
1.
Seseorang harus meyakini dan menyadari
bahwa musibah yang menimpa dirinya merupakan pemberian Allah untuk menguji atau
bahkan sebagai bentuk kasih sayang Allah kepadanya. Allah SWT berfirman: “Dialah Dzat yang menjadikan mati dan
hidup, supaya dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang baik amalnya, dan Dia
Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS al-Mulk: 2)
2.
Seseorang harus yakin bahwa dibalik
musibah yangmenimpa dirinya pasti ada hikmahnya. Allah SWT berfirman: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS
al-Baqarah: 216)
3.
Hidup didunia ini pada hakikatnya adalah
ujian dan ujian itu biasanya tidak menyenangkan.namun jika seseorang lulus dari
ujian tersebut, maka ia akan naik derajatnya dihadapan Allah. Orang yang ridha
terhadap qadha Allah niscaya memiliki jiwa yang tenang dan ia pun akan diridhai
Allah SWT.
$pkçJr'¯»t
ß§øÿ¨Z9$#
èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$#
ÇËÐÈ
ûÓÉëÅ_ö$#
4n<Î)
Å7În/u
ZpuÅÊ#u
Zp¨ÅÊó£D
ÇËÑÈ
Í?ä{÷$$sù
Îû
Ï»t6Ïã
ÇËÒÈ
Í?ä{÷$#ur
ÓÉL¨Zy_
ÇÌÉÈ
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah
hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS al-Fajr: 27-30)
Keluh
Kesah Dapat Merusak Sikap Ridha
Keluh kesah yang keluar dari mulut
seseorang sebetulnya tidak menyelesaikan masalah. Kata-kata yang terlontar
justru menunjukkan ketidaksabaran dan itu bisa merusak sikap ridha.
Keluh kesah termasuk penyakit hati. Ia
berbentuk ketidaksabaran yang menyelip dalam
jiwa kita tatkala menerima ketentuan dari Allah. Ada hadis qudsi yang
menyatakan bahwa: “Barang siapa yang
tidak ridhe terhadap ketentuan-Ku, dan tidak sabar terhadap musibah dari-Ku,
maka carilah Tuhan selain Aku”. (HR Bukhari dan Muslim). Dari hadis qudsi
ini tampaklah bahwa segala apapun yang Allah berikan kepada kita, maka kita
harus menerimanya dengan ridha. Oleh karenanya, kita tidak perlu banyak
mengaduh atau berkeluh kesah. Sedapat mungkin kurangi aduh-mengaduh ini. Jauh
lebh produktif jikalau kita optimalkan waktu dengan banyak berdo’a dan menambah
kualitas keilmuan diri serta menyempurnakan ikhtiar dijalan Allah. Demikianlah
perkataan Aa’ Gym dalam salah satu ceramahnya.
BAB
III
A.
Kesimpulan
Sifat
terpuji yaitu sifat yang wajib dimiliki oleh setiap umat muslim dimanapun dia
berada. Adanya sifat-syfat yang terpuji akan menjadikan setiap manusia menjadi lebih tinggi derajadnya di
hadapan Allah SWT. Adapun beberapa sifat terpuji yang seharusnya dimiliki itu
adalah syukur. Syukur yaitu senangnya hati seseorang atas
kenikmatan yang ia peroleh, lantas anggota tubuhnya bergerak untuk taat kepada
yang memberi nikmat, disertai sikap pengakuan kepada Dzat yang memberi nikmat
dengan tunduk kepada-Nya. Qana’ah yaitu sikap merasa cukup
dengan apa yang ada, dan mau menerima kenyataan dengan Ridha. Tawakal yaitu
berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi atau menunggu hasil
suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan, dan Ridha yaitu menerima
qada dan qadar dalam kerelaan hati. Ridha ini merupakan perpaduan antara sabar
dan tawakal sehingga melahirkan mental yang merasa tenangdan senang menerima
segala situasi dan kondisi
B.
Saran
Dengan ditulisnya makalah ini, penulis berharap agar
setiap orang yang membaca makalah ini dapat memahami isi dari pembahasan
makalah ini dan dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan
tercipta hubungan yang baik antar sesama manusia ciptaan Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
As, Asmaran. 1994.
Pengantar Study Tasawuf. Jakarta
Utara:PT.RajaGrafindo Persada
Hamka. 2007. Tasawuf Modern. Jakarta:PT.Pustaka
Panjimas
Mahjuddin. 2011.
Akhlak tasawuf I. Jakarta:Kalam Mulia
Mahjuddin. 2012.
Akhlak Tasawuf I1. Jakarta:Kalam
Mulia
Mustaqim, Abdul.
2013. Akhlak Tasawuf:Lelaku Suci Menuju
Refolusi Hati. Yogyakarta:Kaukaba
Dipantara
Proyek Pembinaan
PTAIN Sumatra Utara. 1983. Pengantar Ilmu
Tasawuf. Medan:IAIN Sumatra Utara.
Tohir, Nahrowi
Moenir. 2012. Menjelajahi Eksistensi
Tasawuf. Jakarta Selatan: PT.
As-salam Sejahtera

0 komentar:
Posting Komentar